Entri Populer

Rabu, 09 Februari 2011

:)

“It’s not what happens to You. It’s what you do about it.” Tidak menjadi hal yang penting apa yang menimpamu/terjadi padamu, namun yang penting adalah bagaimana kamu menyikapi hal yang terjadi padamu itu.

Makna kata bijak berikut menurut yang saya artikan ” Misal ketika kita menerima suatu masalah. Yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi secara positif masalah itu, dan apa yang kita lakukan sesudah kita menerima masalah itu.

“Sukses datang bukan dari apa yang kita ketahui, melainkan dari siapa yang kita kenal dan bagaimana kita membawa diri terhadap masing-masing orang tersebut.”

“Satu-satunya cara untuk menjadikan diri anda tak tergantikan adalah menjadikan diri anda dapat digantikan.”

“Untuk menjatuhkan orang, anda harus jatuh bersama mereka. Sebaliknya, ketika anda mengangkat orang, anda pun ikut terangkat.”

“The Man who does more than he is paid for will soon be paid more than he does”

Kamis, 27 Januari 2011

HIKMAH

Membersihkan Kalbu

Ditulis oleh Ustadz Agus Handoko, MA   

Manusia sering kali melakukan sesuatu atas dasar hawa nafsunya yang mengakibatkan perbuatan tersebut berdampak negative ditengah-tengah masyarakat. Untuk menghindari penyesalan diakhir perbuatan yang akan dilakukan, maka seyogyanya bertanyalah pada hati kecil, baik dan buruknya perbuatan tersebut. Oleh karena itu setiap manusia dituntut untuk memahami hatinya atau bahasa lain adalah "Qolbu".
 
Mengapa Rasulullah SAW Tersenyum

Ditulis oleh Agung Kusuma, BIFB (Hons)   
Rasulullah SAW adalah contoh pribadi yang agung, pribadi yang mulia. Beliau diutus sebagai rahmatan lil’alamin, rahmat bagi semesta alam. Beliau adalah penutup para Nabi dan contoh bagi semua manusia.
Hal yang menarik adalah kenapa Rasulullah selalu tersenyum, walaupun beliau dihina dan dicaci maki oleh kaumnya, bahkan ingin dicelakakan oleh sebagian orang. Artikel ini akan membahas panjang lebar tentang hal menarik ini.
 
Para Nabi Pun Berdoa

Ditulis oleh Ustadz Nur Rohim Yunus, Lc   
Bertaqwalah kepada Allah Swt, taqwa dalam arti memelihara diri dari segala bentuk kemusyrikan dan kemunafikan, yakni dengan menta’ati dan mengerjakan semua perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Juga taqwa yang dapat menumbuhkan amal-amal saleh yang nyata sebagai pembuktian kebenaran iman, sebab segala perbuatan dan amal manusia, baik atau jahatnya pencerminan imannya terhadap Allah Swt.
 
Muhasabah Diri Menggapai Masa Depan

Ditulis oleh Ustadz Agus Handoko,S.Th.I   
Di akhir tahun 2008 Masehi dan tahun 1429 Hijriyah, ada baiknya kita mengevaluasi apa yang telah kita lakukan dan persiapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik, hal tersebut diisyaratkan oleh Allah Swt. Dalam firmannya surat al-Hasyr : (59 : 18)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri, mengevaluasi kembali apa yang telah dilakukan untuk menata hari esok. Dan bertakwalah kamu sekalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kalian kerjakan”.
 
Memahami Makna Idul Adha

Ditulis oleh Yusuf Fatawie*   
Bulan ini merupakan bulan bersejarah bagi umat Islam. Pasalnya, di bulan ini kaum muslimin dari berbagai belahan dunia melaksanakan rukun Islam yang kelima. Ibadah haji adalah ritual ibadah yang mengajarkan persamaan di antara sesama. Dengannya, Islam tampak sebagai agama yang tidak mengenal status sosial. Kaya, miskin, pejabat, rakyat, kulit hitam ataupun kulit putih semua memakai pakaian yang sama. Bersama-sama melakukan aktivitas yang sama pula yakni manasik haji.
 
Tiga kebahagiaan menyambut Idul fitri

Ditulis oleh Arwani Syaerozi*   
Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan terbebas dari segala dosa.
 
Konsep Kebahagiaan Dalam Islam

Ditulis oleh Ustadz Abdul Latief   
Kondisi senantiasa bahagia dalam situasi apa pun, inilah. yang senantiasa dikejar oleh manusia. Manusia ingin hidup bahagia. Hidup tenang, tenteram, damai, dan sejahtera. Sebagian orang mengejar kebahagiaan dengan bekerja keras untuk menghimpun harta. Dia menyangka bahwa pada harta yang berlimpah itu terdapat kebahagaiaan.

Rabu, 26 Januari 2011

Mozaik Fikh

Kajian Fiqih: Mengkombinasikan Niat Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Banyak pertanyaan seputar menggabung ibadah, misalnya puasa membayar hutang (qadla) Ramadhan digabungkan dengan puasa Syawah enam hari. Sahkah ibadah seperti itu?
Para fuqoha membahas hal tersebut tersebut dalam masalah at-tasyriik fin niyyah (mengkombinasikan niyat). Imam Suyuthi dalam kitabnya yang sangat masyhur al-Ashbah wan Nadlair menyebutkan bahwa menggabung dua ibadah ada beberapa kriteria.
 
Dzikir setelah sholat dan tata caranya, dari sahih Bukhari Muslim Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Dzikir setelah sholat merupakan ibadah yang sangat disunnahkan dan salah satu kebiasaan Rasulullah s.a.w. Beliau juga melakukannya dengan suara keras. Dalam sahih Bukhari dan Muslim disebutkan pada Bab Dzikir setelah sholat dari Ibnu Abbas beliau berkata "sesungguhnya mengeraskan suara dengan dzikir ketika orang-orang usai melaksanakan sholat wajib merupakan kebiasaan yang berlaku pada zaman Rasulullah s.a.w.. Ibnu Abbas menambahkan, aku mengetahui bahwa mereka selesai sholat karena aku mendengarnya.
 
Tentang Shalat Tasbih Cetak E-mail
Ditulis oleh Ulin Niam Masruri   
Kita sering mendengar yang namanya sholat tasbih, sebagian besar umat Islam sering melakukannya, karena merupakan salah satu sholat sunnah yang mana bisa dilakukan pada malam hari. maupun pada siang hari. Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengatakan “Sholat tasbih ini adalah merupakan sholat yang pernah dilakukan oleh Rosululloh Saw, makanya kalau bisa alangkah baiknya bagi orang Islam untuk melakukannya minimal dalam seminggu sekali atau kalau tidak mampu mungkin dalam sebulan cukup sekali”. 
 
Melihat Calon Isteri Sebelum Khitbah Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Jabir bin Abdullah r.a. beliau berkata: Aku mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika salah satu dari kalian melakukan khitbah terhadap seorang perempuan, kemudian memungkinkan baginya untuk melihat apa yang menjadi alasan baginya untuk menikahinya, maka lakukanlah". Hadist ini sahih dan mempunyai riwayat lain yang menguatkannya.
 
Ajaran Khitan dalam Islam Cetak E-mail
Ditulis oleh Muhammad Niam   
Khitan secara bahasa artinya memotong. Secara terminologis artinya memotong kulit yang menutupi alat kelamin lelaki (penis). Dalam bahasa Arab khitan juga digunakan sebagai nama lain alat kelamin lelaki dan perempuan seperti dalam hadist yang mengatakan "Apabila terjadi pertemuan dua khitan, maka telah wajib mandi" (H.R. Muslim, Tirmidzi dll.).
 
Etika Merayakan Peringatan Maulid Nabi Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Raja Al-Mudhaffar Abu Sa`id Kaukabri ibn Zainuddin Ali bin Baktakin(l. 549 H. w.630 H.), menurut Imam Al-Suyuthi tercatat sebagai raja pertama yang memperingati hari kelahiran Rasulullah SAW ini dengan perayaan yang meriah luar biasa. Tidak kurang dari 300.000 dinar beliau keluarkan dengan ikhlas untuk bersedekah pada hari peringatan maulid ini.
 
Ibadah Qurban Cetak E-mail
Ditulis oleh Muhammad Niam   
Qurban dalam istilah fikih adalah Udhiyyah (الأضحية) yang artinya hewan yang disembelih waktu dhuha, yaitu waktu saat matahari naik. Secara terminologi fikih, udhiyyah adalah hewan sembelihan yang terdiri onta, sapi, kambing pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasriq untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kata Qurban artinya mendekatkan diri kepada Allah, maka terkadang kata itu juga digunakan untuk menyebut udhiyyah.

Pengertian Tawassul
Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.
•    Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada  Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.
•    Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya da. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.
•    Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo'a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat  dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do'a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t.  Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.

Tawassul dengan amal sholeh kita
Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal 160)

Tawassul dengan orang sholeh
Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai amrtabat dan derajat tinggi dei depan Allah. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll.
Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini.  Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh.  Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.

Dalil-Dalil Tentang Tawassul
    Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari  nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:

A. Dalil dari alqur’an.

1.    Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah, 35 :
ياأيها الذين آمنوااتقواالله  وابتغوا إليه الوسيلة
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan."
Suat Al-Isra', 57:
 أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً  
17.
57. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka [857] siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti. [857] Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan 'Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah.
Lafadl Alwasilah  dalam ayat ini adalah umum,  yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik.

2. Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS 12:97 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni N. Ya'qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya (QS 12:98).

قَالُواْ يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ.  قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
97. Mereka berkata: "Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)".
98. N. Ya'qub berkata: "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang".
Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan "ayyuhum aqrabu", yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.

3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan N. Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilahبِمَا عَهِدَ عِندَكَDengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah ada pada sisimu (kenabian).
Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37

فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
"Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang."Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.

4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

"Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang."

B. Dalil dari hadis.   
a. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW sebelum lahir

Sebagaimana nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص: 615)
"Rasulullah s.a.w. bersabda:"Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku". Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?" Adam menjawab:"Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai". Allah menjawab:"Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu"

Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Almawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini  adalah shohih.

Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan  dari Ibnu Abbas  dengan redaksi :

فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih segi sanad, demikian juga Syekh Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi  memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.
Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.

b. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya.

Diriwatyatkan oleh Imam Hakim :

عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضرير
فشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال  رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر.  (أخرجه الحاكم فى المستدرك)

Dari Utsman bin Hunaif: "Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: "Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat" Rasulullah berkata"Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata:"bacalah doa (artinya)" Ya Allah sesungguhnya aku memintaMu dan menghadap kepadaMu melalui nabiMu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafaat untukku dan berilah aku syafaat". Utsman berkata:"Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar". (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih  dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib. Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.

c. Tawassul kepada nabi Muhammad SAW setelah  meninggal.

Diriwayatkan oleh Imam Addarimi :
عن أبى الجوزاء  أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص : 43)
Dari Aus bin Abdullah: "Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: "Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung", maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk" (Riwayat Imam Darimi)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori  :
عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )
Riwayat Bukhari: dari Anas bin malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata:"Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman nabi kami maka turunkanlau hujan kepada, lalu turunlah hujan.

d. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul .
عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو نعيم وبن سنى).

Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda:"Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murkaMu dan karena mencari ridlaMu, maka aku memintaMu agar Kau selamatkan dari neraka, agar Kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diriMu", maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya". (Riwayat Ibnu Majad dll.).

Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma'qool, akan tetap Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).

Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Alafkar 1/272).

Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini  dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).
Imam Bushoiri  mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).

Pandangan  Para Ulama’ Tentang Tawassul
Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu.  Kadang  sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya  dengan dalil saja  tanpa harus menyartakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.

Pandangan Ulama Madzhab

Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:"Kalau aku berziarah ke kubur nabi, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab:"Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat". (Al-Syifa' karangan Qadli 'Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).

Demikian juga ketika Imam Ahmad Bin Hambal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab :"Syafii ibarat matahagi bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita"
 (شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166)

Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:
آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى
أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى
(العواصق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180)  
"Keluarga nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad), aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku"

Pandangan Imam Taqyuddin Assubuky
Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah  adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta  kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom  hal 160)

Pandangan Ibnu Taimiyah
Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi :
أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه).

Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya)"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepadaMu dan bertwassul kepadamu melalui nabiMu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya'faat". Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)

Pandangan Imam Syaukani

Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW  ataupun kepada yang lain ( orang sholeh),  baik pada masa hidupnya  maupun  setelah meninggal  adalah merupakan ijma’ para shohabat.

Pandangan Muhammad Bin Abdul Wahab.

Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bidah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap AlBushoiri atas perkataannya YA AKROMAL KHOLQI dan membakar dalailul khoirot. Maka beliau membantah : “ Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud  Riyad  bagian ketiga  hal 68)

Dalil-dalil yang melarang tawassul
Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:
1. Surat Zumar, 2:
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ  
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.
Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut: tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara; tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.

2. Surah al-Baqarah, 186:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ  
2. 186. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.
Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.

3. Surat Jin, ayat 18:
وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً  
72. 18. Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.
Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah.
Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui perantara.

Kesimpulan
Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.

Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah lah yang berhak memberi dan menolak doa hambaNya. Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan hadist.

Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan. Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid'ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid'ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat. Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid'ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.

Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam, atau bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu, meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para para ulama dan kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.
Wallahu a'lam bissowab

Penyusun:
Ustadz Agus Zainal Arifin, Hiroshima
Ustadz Muhammad Niam, Islamabad
Ustadz Ulin Niam Masruri, Islamabad

Tawanan dalam Persepsi Islam Cetak E-mail
Ditulis oleh Dewan Asatidz   
Islam menekankan pentingnya menghormati tawanan. Teks al-Quran mengekspresikan, pemberian pangan untuk para tawanan merupakan salah satu dari kebajikan, dan terhitung sebagai salah satu sifat mu'min yang baik. Islam menekankan pentingnya menghormati tawanan. Teks al-Quran mengekspresikan, pemberian pangan untuk para tawanan merupakan salah satu dari kebajikan, dan terhitung sebagai salah satu sifat mu'min yang baik. Allah swt berfirman mengenai sifat-sifat mu'min yang merdeka: "Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan" (QS. Al-Insan: 8). Dalam ayat ini memberikan suatu gambaran langsung bahwa seorang tawanan seakan disambut layaknya seorang tamu, bukan sebagai tawanan yang lantas dijadikan budak. Pimpinan perang dibawah naungan panji Islam, tawanan diperlakukan secara terhormat dan manusiawi, tidak membuat mereka haus dan lapar. Sholahuddin Al-Ayyubi menorehkan sejarah dengan tinta emas: saat berperang, Sholahuddin menangkap pasukan Salib yang berjumlah sangat besar sedangkan makanan yang tersedia tidak cukup buat mereka. Dengan lapang dada, akhirnya Sholahuddin membebaskan mereka tanpa syarat. Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya "nazariyat al-harb fi al-Islam" (Teori Perang dalam Islam) menulis: "motivasi perang dalam Islam itu reagresi, atau membalas serangan lawan". Sejumlah perang yang terukir dalam sejarah Islam bukan perang melawan rakyat, melainkan perang menghadapi prajurit yang menindas rakyat dan orang-orang yang memiliki otoritas mengambil kekuatan senjata sebagai alat untuk memusuhi kebenaran. Berdasarkan itu, simpul-simpul ukhuwah umat Islam dengan pemimpin wilayah tidak terputus jika komunikasi tetap prospektif dan memungkinkan. Sedangkan perang yang menimpa umat Islam seperti terjadi sekarang ini tidak demikian, karena hanya invasi atau agresi antarnegara, sebab pertama kali yang dilakukan sang agresor itu kini tidak segan-segan menangkap para pemimpin negara yang ia perangi, serta menyita habis harta mereka. Adapun Islam tidak menghendaki demikian. Bahkan Islam menganjurkan bahwa hubungan dagang antar-negara tidak bisa diputuskan hanya oleh perang, hubungan dagang antar-pebisnis itu akan masih tetap terjalin. Karena itu para pengusaha yang memasuki al-diyar al-islamiyah (negara-negara Islam) akan merasa aman, sebab mereka diberikan 'transaksi' kontrak keamanan yang memadai. Keamanan itu tetap dijaga kendatipun sang pebisnis, misalnya, bergabung dengan negara agresor atau bahkan dengan negara Islam yang tengah berkecamuk perang. Satu sisi usaha dagang dan bisnis mereka tetap lancar, pekerjaan tidak hilang, dan sisi lain uang tetap terjaga dengan utuh tak tersentuh selama mereka mendapatkan hak keamanan sebagaimana yang dijanjikan. Dengan cara pandang ini, jika kita lihat apa yang terjadi dengan para tawanan di Irak, atau pelbagai macam barisan perlawanan Irak yang ada di sana, atau operasi penculikan terhadap orang yang tidak berkaitan langsung dengan perang, itu sama sekali tidak relevan dengan kesepakatan Jenewa mengenai hak-hak perlindungan tawanan, terlebih lagi dengan prinsip dan nilai-nilai ajaran Islam. * Penulis adalah Direktur Eksekutif Sanggar Kinanah dan mahasiswa aqidah dan filsafat, Univ. al-Azhar, Kairo.

Peran Santri di Era Reformasi

Ditulis oleh Arwani Syaerozi   
Memang bulan Mei 1997 lebih dikenal sebagai start point bagi kalangan akademis dan civitas dalam menunjukkan kekuatannya di mata publik di masa orde baru, dengan desakan reformasi-nya yang mahadahsyat telah berhasil menumbangkan rezim tirani Soeharto, melalui reformasi ini juga sebenarnya komunitas kaum sarungan (santri) turut bersemi menunjukkan potensi dan eksistensinya di tengah masyarakat luas. 
Bagaimana tidak, beberapa santri tulen semisal KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) turut tampil dalam pergolakan tersebut, atau Nur Cholis Majid (Cak Nur) cendekiawan yang mengenyam lama penididikan pesantren, sangat diperhitungkan partisipasinya dalam proses bergulirnya reformasi. Namun kaum sarungan sepetinya luput dari bidikan wartawan, peran santri tidak terrekam dengan baik dalam pita sejarah reformasi.

Sepuluh tahun reformasi bergulir, sepanjang itu pula nyatanya kiprah kaum sarungan (santri) semakin diperhitungkan dalam interaksi riil sosial, politik dan budaya. Dalam kancah politik, kaum santri tidak lagi menjadi obyek dari kepentingan sesaat politisi dan partai politik, akan tetapi dinamika perpolitikan Indonesia diwarnai pula oleh politisi santri yang tidak lagi malu dengan identitas kesantriannya, atau munculnya partai-partai politik yang berbasis massa kaum sarungan seperti PKB, PKU, PNU, PBR, dan PKNU yang baru-baru ini dideklarasikan oleh beberapa ulama sepuh NU.

Gaung komunitas santri dalam dedikasinya terhadap kondisi bangsa tidak segegap gempita image akademis dan civitas perlu kita baca kembali dengan realitas dipegangnya beberapa pos strategis pemerintahan oleh kaum sarungan, Gus Dur adalah prseiden RI ke 4, ayahnya KH. Wahid Hasyim pernah menjabat sebagai Menteri agama, begitu juga. Mukti Ali dan Saefullah Yusuf adalah sosok santri senior yang sempat tampil dalam birokrasi pemerintahan pusat.

Dalam dunia seni dan budaya, kita akan mengenal Acep Zamzam Noor (penyair asal pesantren Cipasung), atau KH. Musthafa Bisri (budayawan asal pesantren Rembang), dimana kreasi dan inovasi mereka sangat mempengaruhi atmosfir seni dan budaya di nusantara, bahkan Musthafa Bisri adalah budayawan nasional yang kerap dijadikan rujukan umat bukan hanya dalam lini kebudayaan.

Lingkup sosial masyarakat, setidaknya kita bisa melihat peran ormas NU, beserta perangkat dan badan-badan otonomnya banyak mendampingi grass root dalam mengusung agenda reformasi agar benar-benar menyentuh kalangan bawah. Begitu juga bermunculannya lembaga swadaya masyarakat (LSM) banyak yang dimotori oleh kaum sarungan, baik LSM yang konsentrasi di bantuan hukum, lingkungan hidup, kerukunan umat beragama, ekonomi maupun yang bergerak di bidang pendidikan.

Sayangnya dengan realitas sejarah di atas, data sejarah reformasi yang kita kenal selama ini masih menyimpulkan peran kaum santri tetap termarjinalkan dalam ruang publik, saya melihat hal ini disebabkan oleh tiga faktor berikut:

Pertama, minimnya publikasi, peran media dalam menciptakan opini publik sangat dominan, sekecil apapun berita dan peristiwa yang dikemas oleh para kuli tinta dan diekspos melalui media massa (baik cetak maupun elektronik) akan menciptakan opini yang kuat di tengah masyarakat yang mengkonsumsinya. Sayangnya semangat “keikhlasan” yang tertanam dalam pribadi-pribadi kaum santri telah menggusur urgensi unsur propaganda media, padahal inti publikasi itu sendiri sebagai usaha dalam menumbuhkan sikap ghirah (tertarik untuk melakukan) pada orang lain dalam hal yang positif.  Sementara di sisi lain tidak jarang komuintas tertentu berani membayar pers demi kepentingan membangun image.

Kedua, Lemah dalam sistematis jaringan, lazimnya lembaga maupun organisasi yang mapan, sistematis networks adalah hal krusial dalam membangun link dengan pihak lain. Sebagai contoh: sekelompok santri yang peduli terhadap lingkungan hidup melalui program ro’an (kerja bakti) mingguan, biasanya hanya mengandalkan potensi internal komunitasnya saja, tanpa mencoba mengembangkan sayap kerja dengan berbagai pihak yang se-bidang, baik instansi pemerintah, swasta, maupun Lsm. Jaringan kerjasama dengan pihak eksternal mutlak dibutuhkan dalam rangka melebarkan sayap kerja, yang secara otomatis masyarakatpun akan merasa lebih diayomi oleh para santri. Dengan relasi kerja ini pula, sekelompok santri peduli lingkungan dalam contoh di atas akan terdeteksi peran dan kontribusinya, akan terbaca lebih luas oleh masyarakat segala kiprahnya.
 
Ketiga, agenda temporer dan kondisional, inilah faktor terkahir yang menyebabkan peran kontribusi kaum sarungan tampak kurang optimal. Kalau kita amati lebih jauh, ternyata banyak jenis kegiatan yang dimotori oleh kaum sarungan sifatnya hanya kondisional, pendidikan poilitik, hanya sebatas menjelang tibanya pemilu, selepas gegap gempita pesta demokrasi, program yang semestinya diadakan berkesinambungan di komunitas lenyap begitu saja. Atau pembekalan manajemen ekonomi dan bisnis, konsistensinya tidak menjadi target dalam mengadakan program kerja. Flash activities inilah yang sebenarnya akan membuahlkan hasil yang serba tanggung, akhirnya masyarakat pun tidak sepenuhnya memahami apa yang ditargetkan oleh agenda kaum sarungan.

Kalau saja tiga faktor di atas diperhatikan oleh kaum santri, saya yakin kontribusi kyai dan santri dalam mengusung agenda reformasi akan lebih terbaca luas oleh publik, bukankah dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia 85 persennya adalah muslim? Dan bukankah dari sekian banyak kaum muslim Indonesia mereka adalah kaum sarungan? Lantas yakinkah kontribusi dan peran santri dalam dunia nyata selama ini sangat minim? Untuk itulah saya yakin bahwa kaum santri telah banyak berpartisipasi, walaupun secara kasat mata jarang yang mengapresiasi jerih payah mereka. Wallahu A’lam.  
* Pemerhati masalah-masalah sosial dan kegamaan, anggota dewan penasihat pesantren Assalafi Babakan Ciwaringin Cirebon Jawa barat.

Seputar Pesantren

Handphone: Pesantren dan Dilema Modernitas
Ditulis oleh Syukron Affani, M.S.I   
Nurcholis Madjid, salah satu cendekiawan besar muslim Indonesia membagi pesantren (dalam karyanya Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, Jakarta:Paramadina, 1997), terkait dengan respon jagat pesantren terhadap tantangan dan arus jaman, ke dalam empat jenis. Pesantren jenis pertama adalah pesantren modern yang penuh ghirah membenahi pesantren dengan sistem yang kompatibel dengan semangat modernitas. Pesantren kedua, pesantren yang melek kemajuan jaman sekaligus tetap mempertahankan nilai-nilai yang positif dari tradisi. Pesantren ketiga adalah pesantren yang juga memahami aspek positif modernitas namun tetap memilih menjadi jangkar bagi persemaian semangat tradisionalisme. Sedangkan pesantren jenis keempat adalah pesantren yang bersikap antagonis terhadap gegap gempita modernisasi.
 
Kopiah, identitas Santri?
Ditulis oleh Alfa RS.   
Zaman sekarang sebuah kemasan, merek, bahasa pesantrennya bentuk dhahir, dianggap jauh lebih penting ketimbang sebuah isi. Perkembangan zaman telah berhasil menanamkan kemasan menjadi sesutau yang penting, mengabaikan kwalitas.
 
PP 55/2007: Politik Akomodasi atau Taktik Hegemoni?
Ditulis oleh Nur Hidayat   
Madu di tangan kananmu
racun di tangan kirimu
Aku tak tahu mana yang akan kau berikan padaku
 
Pesantren dalam Dilema
Ditulis oleh Nur Hidayat   
Sejarah pendidikan pesantren akan segera memasuki babak baru pasca-terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Mampukah peraturan yang disahkan bertepatan dengan Hari ABRI (5 Oktober 2007) itu menjadi instrumen pengembangan dan akomodasi pesantren dalam kebijakan pemerintah? Atau sebaliknya, ia justru menjadi alat homogenisasi-hegemonik pemerintah terhadap pesantren?
 
Metode Memahami Kitab Kuning
Ditulis oleh Oleh : Yusuf Fatawie*   
Term kitab kuning bukan merupakan istilah untuk kitab yang kertasnya kuning saja, akan tetapi ia merupakan istilah untuk kitab yang dikarang oleh para cendekiawan masa silam. Istilah tersebut digunakan karena mayoritas kitab klasik menggunakan kertas kuning, namun belakangan ini penerbit-penerbit banyak yang menggunakan kertas putih. Yang pasti, istilah tersebut digunakan untuk produk pemikiran salaf. Sementara itu, produk pemikiran salaf dikalangan akdemisi lebih populer dengan sebutan turats.
 
Bahtsu Al Masail: Pemecah Masalah atau Pencari Masalah?
Ditulis oleh Umar Abdul Hasib   
Pondok pesantren adalah suatu lembaga pendidikan tertua dalam sejarah pendidikan di Indonesia selain itu Pondok pesantren juga yang menjadi ciri khas agama Islam di Indonesia, founding father dari pesantren adalah Sunan Ampel dengan pesantren Ampel Dento-nya di surabaya, selain itu Pesantren juga menjadi barometer penentu dapat dikatakan kuat dan tidaknya Islam pada suatu daerah. 
 
Masa Depan Pesantren
Ditulis oleh AM Fatwa (Wakil Ketua MPR RI)   
Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang multifungsi. Ia menjadi benteng pertahanan sekaligus pusat penyiaran (dakwah) Islam. Tidak ada data yang pasti tentang awal kehadiran pesantren di Nusantara (Ensiklopedi Islam, 2005). Baru setelah abad ke-16 diketahui bahwa terdapat ratusan pesantren yang mengajarkan kitab kuning dalam berbagai bidang ilmu agama seperti fikih, tasawuf, dan akidah

Jauhi Tiga Perkara

Manusia diciptakan kemuka bumi ini untuk mengelola sesuatu yang ada didalamnya dengan sebenar-benarnya, dan juga untuk menghamba kepada Sang Khalik Allah Swt.dengan mentaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.Setiap perbuatan manusia akan dimintai pertanggung jawabannya di akherat kelak, maka jalan apa yang akan ditempuh itulah pilihan setiap individu, yang pada akhirnya manusia akan merasakan bahagia atau sengsara.
Rasulullah saw memberikan jaminan kepada kaum muslimin selama mereka terbebas dari tiga perkara sebelum kematian terjadi pada dirinya, beliau bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِيْءٌ مِنْ ثَلاَثٍ : أَلْكِبْرُ وَالْغُلُوْلُ وَالدَّيْنُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

Barangsiapa yang mati dan ia terbebas dari tiga hal, yakni sombong, fanatisme dan utang maka ia akan masuk surga (HR. Tirmidzi(.

Hadis diatas menunjukkan kepada kita semua sebagai ummat Nabi Muhammad untuk hindari tiga perkara tersebut yaitu : memiliki sifat sombong, fanatisme kepada golongan dan juga memiliki hutang yang belum dibayar. Kesemuanya parkara tersebut berdampak negatif bagi setiap jiwa muslim.


1.    Sombong.

    Sombong adalah sifat yang dimiliki manusia dengan menganggap dirinya lebih dengan meremehkan orang lain, karenanya orang yang takabbur itu seringkali menolak kebenaran, apalagi bila kebenaran itu datang dari orang yang kedudukannya lebih rendah dari dirinya, Rasulullah Saw bersabda:
اَلْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
Takabbur itu adalah menolak kebenaran dan dan menghina orang lain (HR. Muslim).

    Sombong merupakan sifat iblis laknatullah, dengan sebab itulah ia divonis ingkar/kafir kepada Allah Swt, sebagaimana firman Allah Swt :
"Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (Adam), lalu Kami bentuk tubuhmu, kemudian Kami katakan kepada para malaikat: “bersujudlah kamu kepada Adam”, maka merekapun bersujud kecuali iblis. Dia tidak termasuk mereka yang sujud. Allah berfirman: Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) diwaktu Aku menyuruhmu?. Iblis menjawab: aku lebih baik daripadanya, Engkau ciptakan aku dari api, sedang dia Engkau ciptakan dari tanah. Allah berfirman: turunlah kamu dari syurga itu, karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina (QS 7:11-13, lihat pula QS 40:60).

    Ada banyak dampak negatif atau bahaya dari sifat sombong ini, diantara adalah: Pertama, Tidak senang pada saran apalagi kritik, hal ini karena ia sudah merasa sempurna, tidak punya kekurangan, apalagi bila kesombongan itu tumbuh karena usianya yang sudah tua dengan segudang pengalaman, ia akan menyombongkan diri kepada orang yang muda, atau sombong karena ilmunya banyak dengan gelar kesarjanaan.

Kedua, Tidak senang terhadap kemajuan yang dicapai orang lain, hal ini karena apa yang menjadi sebab kesombongannya akan tersaingi oleh orang itu yang menyebabkan dia tidak pantas lagi berlaku sombong, karenanya orang seperti ini biasanya menjadi iri hati (hasad) terhadap keberhasilan, kemajuan dan kesenangan yang dicapai orang lain, bahkan kalau perlu menghambat dan menghentikan kemajuan itu dengan cara-cara yang membahayakan seperti memfitnah, permusuhan hingga pembunuhan.

Ketiga, Menolak kebenaran meskipun ia meyakininya sebagai sesuatu yang benar, hal ini difirmankan Allah Swt di dalam Al-Qur’an: Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka), padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan (QS 27:14).

Keempat, Dibenci Allah Swt yang menyebabkannya tidak akan masuk syurga. Allah Swt berfirman: Tidak diragukan lagi bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang mereka rahasiakan dan apa yang mereka lahirkan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong (QS 16:23).

Di dalam hadits, Rasulullah Saw bersabda:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِى قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبرٍْ

Tidak masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi dari sifat kesombongan (HR. Muslim).


2.    Ta'asshub atau Fanatisme.

Ta'asshub atau yang dikenal fanatic kepada perorangan atau kelompok tertentu, hal tersebut terjadi ditengah-tengah masyarakat  dan tidak bisa dipungkiri bahwa manusia termasuk kaum muslimin hidup dengan latar belakang yang berbeda-beda, termasuk latar belakang kelompok, baik karena kesukuan, kebangsaan maupun golongan-golongan berdasarkan organisasi maupun paham keagamaan dan partai politik, hal ini disebut dengan ashabiyah. Para sahabat seringkali dikelompokkan menjadi dua golongan, yakni Muhajirin (orang yang berhijrah dari Makkah ke Madinah) dan Anshar (orang Madinah yang memberi pertolongan kepada orang Makkah yang berhijrah). Pada dasarnya golongan-golongan itu tidak masalah selama tidak sampai pada fanatisme yang berlebihan sehingga tidak mengukur kemuliaan seseorang berdasarkan golongan, hal ini karena memang Allah Swt mengakuinya, hal ini terdapat dalam firman Allah yang artinya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu bersuku-suku dan berbangsa-bangsa supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS 49:13).

Manakala seseorang memiliki fanatisme yang berlebihan terhadap golongan sehingga segala pertimbangan dan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan golongannya, bukan berdasarkan nilai-nilai kebenaran, maka hal ini sudah tidak bisa dibenarkan, inilah yang disebut dengan ashabiyah yang sangat dilarang di dalam Islam, apalagi bila seseorang sampai mengajak orang lain untuk bersikap demikian, lebih-lebih bila seseorang siap mati untuk semua itu, maka Rasulullah Saw tidak mau mengakui orang yang demikian itu sebagai umatnya, hal ini terdapat dalam hadits Nabi Saw:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا اِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ

Bukan golongan kami orang yang menyeru kepada ashabiyah, bukan golongan kami orang yang berperang atas ashabiyah dan bukan golongan kami orang yang mati atas ashabiyah (HR. Abu Daud)


3.    Utang.

Dalam hidup ini, manusia seringkali melakukan hubungan muamalah dengan sesamanya, salah satunya adalah transaksi jual beli. Namun dalam proses jual beli tidak selalu hal itu dilakukan secara tunai atau seseorang tidak punya uang padahal ia sangat membutuhkannya, maka iapun meminjam uang untuk bisa memenuhi kebutuhannya, inilah yang kemudian disebut dengan utang. Sebagai manusia, apalagi sebagai muslim yang memiliki harga diri, sedapat mungkin utang itu tidak dilakukan, apalagi kalau tidak mampu membayarnya, kecuali memang sangat darurat, karena itu seorang muslim harus hati-hati dalam masalah utang, Rasulullah Saw bersabda:
ِايَّاكُمْ وَالدَّيْنِ فَاِنَّهُ هَمٌّ بِاللَّيْلِ وَمَذَلَّةٌ بِالنَّهَاِر

Berhati-hatilah dalam berutang, sesungguhnya berutang itu suatu kesedihan pada malam hari dan kerendahan diri (kehinaan) pada siang hari (HR. Baihaki)

Bagi seorang muslim, utang merupakan sesuatu yang harus segera dibayar, ia tidak boleh menyepelekannya meskipun nilainya kecil. Bila seorang muslim memiliki perhatian yang besar dalam urusan membayar utang, maka ia bisa menjadi manusia yang terbaik. Rasulullah Saw bersabda:

 خَيْرُ النَّاسِ خَيْرُهُمْ قَضَاءً
Sebaik-baik orang adalah yang paling baik dalam membayar utang (HR. Ibnu Majah).

Namun apabila manusia yang berutang tidak mau memperhatikan atau tidak mau membayarnya, maka hal itu akan membawa keburukan bagi dirinya, apalagi dalam kehidupan di akhirat nanti, hal ini karena utang yang tidak dibayar akan menggerogoti nilai kebaikan seseorang yang dikakukannya di dunia, kecuali bila ia memang tidak mempunyai kemampuan untuk membayarnya, Rasulullah Saw bersabda:

 اَلدَّيْنُ دَيْنَانِ فَمَنْ مَاتَ وَهُوَيَنْوِىْ قَضَاءَهُ فَأَنَا وَلِيُّهُ وَمَنْ مَاتَ وَلاَيَنْوِىْ قَضَاءَهُ فَذَالِكَ الَّذِىْ يُؤْخَذُمِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ يَوْمَئِذٍ دِيْنَارٌ وَلاَدِرْهَمٌ.

Utang itu ada dua macam, barangsiapa yang mati meninggalkan utang, sedangkan ia berniat akan membayarnya, maka saya yang akan mengurusnya, dan barangsiapa yang mati, sedangkan ia tidak berniat akan membayarnya, maka pembayarannya akan diambil dari kebaikannya, karena di waktu itu tidak ada emas dan perak (HR. Thabrani).

Ketiga perkara tersebut jangan sampai terjadi pada diri kita sebagai ummat Islam. Sehebat apapun orang/golongan/partai yang kita ikuti, namun ketika berbuat salah maka seyogyanya bagi kita untuk mengislahnya jangan taklid buta. Hindari sifat yang selalu mendewakan diri sendiri, mengenggap lebih dari orang lain. Milikilah sifat yang selalu menerima pemberian dari Allah Swt (Qona'ah), jangan sampai kita memiliki hutang karena selalu tidak puas terhadap rizki yang kita dapatkan.
Wallahu A'lam Bisshawab.

Toko Buku Online BukuKita.COM - Komunitas Buku Indonesia

Toko Buku Online BukuKita.COM - Komunitas Buku Indonesia

Problem Pengembangan Ekonomi Pesantren

Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan non profit sering dikaitkan dengan prinsip keikhlasan yang dimiliki guru-gurunya dalam mengajar, mereka mengajar tanpa pamrih dan terkadang hidup mereka “diwakafkan” untuk pesantren. keikhlasan para pendiri dan guru gurunya menjadi salah satu alasan mendasar perkembangan pesantren yang begitu cepat. pada tahun 2006 saja di indonesia ada 16.015 buah pesantren, sedangkan pada tahun 2003 jumlahnya masih 14.067 buah ( Sumber:Statistik Depag ).
Juga jiwa kesederhanaan selalu ditanamkan dipesantren. prinsip ini mengajarkan santri untuk hidup selalu dalam kesederhanaan, menghindari hal-hal yang berbau poya-poya atau tidak bermanfaat. kehidupan dijalankan dengan apa adanya seperti air yang mengalir.
Jiwa keikhlasan dan kesederhanaan ini harus terus dipertahankan, tetapi jangan sampai hal ini membuat pesantren tidak merasa berkewajiban untuk memperhatikan kesejahtraan guru-guru dan berusaha untuk “menstandarkan” fasilitas pendidikannyanya”, bahkan kalau mampu sekaligus memodernkannya. banyak pesantren-pesantren khususnya pesantren salaf yang mempunyai fasilitas pendidikan dibawah standar. contohnya dalam hal asrama santri, satu kamar yang berukuran sekitar 3 x 2m dihuni oleh delapan santri. karena kamarnya penuh dengan lemari para santri terkadang harus tidur di kelas, di mesjid, jerambah dan hanya beralaskan sajadah dan berbantalkan peci di kepala. Fasilitas yang dibawah standard ini sudah saatnya di evaluasi.
Tidak salah lagi kalau alasan itu semua adalah ketiadaan dana untuk memperbaiki fasilitas, atau bahkan “tidak terpikirkan” oleh para kiyainya, dianggapnya itu semua merupakan sesuatu yang wajar dan merupakan ciri khas dari pesantren.
Banyak pesantren yang mulai tergugah untuk memperbaiki fasilitas pendidikannya salah satunya dengan pengembangan sektor ekonomi dan kemandirian. tetapi yang disayangkan ada juga pesantren yang hanya meminta dan menanti bantuan orang lain. bahkan ada yang meminta di jalanan, hal ini agak kontradiktif dengan prinsip Islam al yadul ulya khoirun minal yadis sufla.
Bisa dimaklumi kenapa sebagian pesantren tidak bisa mengembangkan sektor ekonominya. saya coba untuk meringkas beberapa hal mendasar yang menjadi kendala dalam pengembangan ekonomi pesantren, diantaranya:
a. kebutuhan kiyai dan orang dekatnya
pesanten biasanya menjadi tempat bagi keluarga dekat kiyai, seperti anak, cucu dan sebagainya. Mereka kadang bertumpu secara ekonomis terhadap santri, apakah dalam bentuk penyediaan makanan, bahan kebutuhan sehari-hari, atau yang lainnya. jumlah pesantren yang didirikan oleh perorangan untuk tahun 2006 adalah 6.326 atau 39,5% dari total pesantren. dalam pesantren perorangan ini biasanya pendiri mempunyai otoritas tertinggi dalam pengambilan keputusan termasuk dalam kepputusan ekonomi. kegiatan perekonomian yang ada sering dikelola pribadi dan dikelola untuk kepentingan kiyai dan keluarga.

b. sumberdaya manusia.
Berbicara tentang kwalitas SDM, sesunguhnya tidak hanya terjadi di kalangan ponpes saja, tetapi dalam skala yang lebih luas, yakni masyarakat Indonesia. Data tentang human development index ( HDI ) yang disajikan United Nation for Development program menunjukan bahwa peringkat kwalitas SDM di Indonesia tahun 2000 berada pada urutan 109. Sebagaimana diketahui bahwa kwalitas pendidikan islam berada dibawah pendidikan umum. Kondisi ini belum mendukung terciptanya SDM yang handal di kalangan pesantren. disamping itu banyaknya guru pesantren yang tingkat pendidikan formalnya rendah, bahkan 35% diantaranya tidak mengenyam pendidikan formal. sedangkan 33,3 % dari jumlah gurunya merupakan tamatan SMA atau dibawahnya ( statistik Depag 2006 )

c. networking
kurangnya keberanian Ponpes melakukan terobosan keluar, atau membuat jaringan, baik antara ponpes ataupun antara ponpes dengan institusi lain. hal ini disebabkan beberapa hal, pertama rasa kurang percaya diri yang dimiliki para guru pesantren bila berhubungan dengan instansi luar, apalagi instansi besar, padahal pesantren mempunyai prinsip-prinsip dasar yang harus dimiliki seorang enterpreneur dalam “bernetwork”, yaitu sifat amanah dan kejujuran. kedua, kurang memahami arti dan manfaat sebenarnya dari “networking”. sebagai teladan, Ponpes al ittifaq dengan strategi kerjasama dan networkingnya bisa mengembangkan agrobisnisnya.

d. kelembagaan
kendali organisasi berpusat hanya pada satu orang ( kiyai ), inilah yang banyak terjadi di ponpes. Maka dapat dipastikan bahwa system keorganisasian dan kelembagaan tidak begitu berjalan dan aspirasi para guru untuk pengembangan ekonomi kadang terhambat di puncak pimpinan.
e. tidak adanya modal
Semua kegiatan perekenomian akan buntu bila terbentur dengan masalah ini. motivasi jadi hilang dan gagasan seakan tidak berguna. Padahal modal usaha itu tidak selalu dengan uang, salah satunya dengan modal kepercayaan. Sebagai lembaga agamis tentunya pesantren bisa lebih dipercaya dari pada institusi yang non agamis bila bisa mengelola dengan professional.
Sudah saatnya pesantren mengembangkan kemandiriannya bahkan harus menjadi agen pembangunan di masyarakat. Dan hendaknya pesantren terus menanamkan jiwa keikhlasan dan kesederhanaan dalam jiwa santri dan gurunya, sembari terus memanfaatkan potensi yang ada untuk meningkatkan kesejahtraan guru dan pengembangan sistem pendidikannya.