Entri Populer

Rabu, 26 Januari 2011

Keunggulan pendidikan pesantren

Siapa tak yang pernah dengar dan tak kenal nama lembaga Pendidikan Pondok Pesantren, dibelantara tanah air lembaga ini muncul sejak awal Islam masuk, dan telah mengadopsi sistem pendidikan keagamaan secara integral berurat akar, mendarah daging, plus perannya tidak bisa diabaikan begitu saja dalam perjalanan sejarah bangsa, pesantren tidak hanya telah mampu melahirkan sosok tokoh-tokoh nasronal yang berpengaruh namun juga sistem pendidikannya juga lelah mampu membentuk watak tersendiri sebagai bangsa yang mayoritas beragama Islam dan bangsa yang akomodattf serta penuh tenggang rasa.
            Semua itu terbentuk dari lahirnya pendidikan di pesantren, tak heran dalam kiprah pendidikan, kontribusi pesantren dalam menoreh sejarah pendidikan di Indonesia terus tumbuh, mencuat dan bertembang mengikuti tuntutan dan kebutuhan zaman.
            Sehingga pada perkembangan selanjutnya pondok pesantren mengalami dinamika pendidikan yang luar biasa, yakni mengacu kepada paradigma baru yang bertumpu pada 3 tungku:
            1. Kemandirian (autonomy)
            2. Akuntabilitas (accountability)
            3. Jaminan Kualitas (quality assurance)

            Pemahaman akan ‘Kemandirian’ pesantren diarahkan pada pemberian otonomi yang lebih besar tidak hanya pada sisi pengelolaan (manajemen} tetapi juga dalam perancangan kurikulum, pengembangan program, kebebasan akademik serta pembinaan semua sumber daya yang ada.
            Pengembangan akuntabilitas diarahkan pada peningkatan kemampuan lembaga pendidikan dalam mencapai tujuan yang direncanakan sorta memberikan hasil yang maksimal bagi masyarakat dan bangsa.
            Dan pada akhirnya jaminan kualitas diarahkan pada peningkatan relevant yang lebih tegas antara ‘out put’ yang dihasilkan lembaga pendidikan dengan kebutuhan masyarakat baik dalam dunia kerja maupun pengembangan dan pemberdayaan anggota masyarakat.
            Perubahan kurikulum pendidikan pesantren dalam konteks ini terpilah antara sisi kontsitusi yang sudah menjadi bagian dari Sisdiknas dan sisi kurikulum struktur mata pelajaran di pesantren yang sudah bercampuar baur dengan kurikulum standar nasional, maka visi yang harus dikembangkan adalah menjadikan pesantren sebagai sebuah si sitem pendidikan yang telah mampu melahirkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu ke-Islaman secara mendalam sekaligus siap pakai dalam dunia kerja, sehingga penataan struktur kurikulum pesantren yang representatif dengan kemajuan ilmu pengetahun dan teknologi.
Pondok pesantren dalam melakukan penataan struktur kurikulum biasanya berkaitan erat dengan ciri khas keilmuan pesantrennya, di samping kondisi lingkungan masyarakatnya seperti letak geogrofis, sosio koltur, sumber-sumber perekonomian dan unsur-unsur lainnya. Secara umum struktur kurikulum di pesantren dipilah ke dalam dua bidang kompetensi yaitu;
Penguasaan bidang keilmuan keislaman tertentu secara mendalam
Pengusaaan ketrampilan hidup (life skull) aplikasinya ke dunia kerja

Tak heran jika pondok pesantren menampilkan dan menawarkan gaya baru dengan program-program keunggulan bidang kejuruan keterampilan antara lain mendidik santri yang ahli ibadah, berilmu, berakhlakul karimah, menguasai keterampilan hidup (life skill) misalnya dibidang agribisnis, perbengkelan dan kewirausaan yang lain.
Pengelolaan pendidikan agribisnis di pondok pesantren sesungguhnya memiliki tujuan dan maksud:
1. Agar setiap pondok pesantren memiliki dan meningkatkan usaha ekonomi produktif sesuai dengan pontensi yang ada di samping sebagai sarana pembelajaran pendidikan keterampilan kecakapan bidup bagi santri.
2. Agar setiap pondok pesantren benar-benar menjadi lembaga yang berbasis masyarakat (society based education).
3. Mencetak santri untuk menguasai berbagai disiplin ilim sebagai bekal mengatur dan memenej kehidupan manusia.
Konsep ini sebenarnya sudah dirintis sejak tahun 1991 melalui koordinasi yang melibatkan instansi terkait diantaranya Departemen Pertanian, Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil Menengah.
Usaha-usaha untuk menumbuh kembangkan kegiatan agribisnis di pondok pesantren telah ditempuh melalui dasar hukum sebagai berikut:  
A. Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama No.346/91 dan No 94/1991 tentang pengembangan Agribisnis di pondok pesantren.
B Kepulusan bersama Menteri Pertanian dan Menteri Agama, sebagai contoh pendidikan pondok pesantren agribisnis yang sengaja di programkan dengan sistem kemandirian adalah Pondok Pesantren Darul Aufa yang terletak di Jalan Nes II Sungai Buluh Muara Bulian Kabupaten Batanghari, telah melakukan terobosan baru dimana para santri tidak hanya dididik dengan keilmuan Keislaman secara mendalam melalui sumber aslinya, yakni kitab kuning (tafaqquh fi din) namun juga pesantren ini telah pula menggunakan istilah yang di pakai oleh Nurcholis Madjid yaitu sebagai ‘Bengkel Life Skill’ yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Antara lain yang telah diprogramkan untuk santri adalah penguasaan teknologi agribisnis yang meliputi pertanian, hortikullura, palawija, perkebunan kelapa sawit, karet, tanaman buah buahan seperti jeruk dan durian, dan lain lain.
Perikanan air tawar, nila dan paten serta peternakan sapi (penggemukan dan repruduksi) dan bidang non agribsnis tersedia pembinaan keahlian bengkel motor dan las teralis, (dikhususkan bagi santriwan) sementara untuk santriwati di siapkan kegiatan pelatihan jahid dan bordir.
Dan lebih jauh pesantren ini telah pula menanamkan dan menumbuhkan semangat wirausaha di kalangan santri, antara lain santri menanam kedelai sendiri, kemudian mengolah bahan kedele tersebut menjadi tempe dan susu kedelei, hingga akhirnya di pasarkan.
Ada beberapa factor yang mendukung terlaksananya pendidikan agribisnis di Pondok Pesantren Darul Aufa tersebut berdasarkan pengamalan penulis yakni:
A. Factor internal.
Factor internal adalah hal-hal yang berada di lingkungan Pondok Pesantren Darul aufa yang dapat mempengaruhi kelangsungan agribisnis yang merupakan penentu dan penunjang keberhasilan antara lain:
l. Sumberdaya Alam (SDA), misalnya kondisi pesantren memiliki lahan luas, yang dapat dikembangkan sebagai usaha pelaksanaan pendidikan agribisnis sebagai labor praktek usaha santri disamping memiliki asset/ modal biaya operasional
2. Sumbeidaya manusia (SDM). SDM di pondok pesantren menggambarkan integritas dan keseluruhan nilai yang harus dimiliki porsenil artara lain keterampilan, pengetahuan, kemampuan untuk bekerja serta keseharan yang baik untuk bersama sama membuatnya mampu melakukan strategi penghidupan sebagai pilar penting mencapai kesuksssan. Kurangnya nilai SDM berimbas pada dimensi inti dan kehidupan miskin hidup. Para Ustaz yang notabene adalah para guru agama berpendidikan sarjana agama, sudah merupakan keuntungan spritual tersendiri, dimana memiliki akhlak terpuji, antara lain sikap qonaah, kemauan bekerja, kemauan untuk mengikuti perintah kyai, keiklasan bekerja, keinginan bekerjasama sikap toleransi dan lain-lain. Kondisi para santri pun sesungguhnya sebuah asset yang tak ternilai mulai dari segi jumlahnya, mengikat kuat dalam pola hidup kebersamaan di pesantren di bawah bimbingan kyia yang kharismatik.
B. Faktor eksternal
      1. Kemitraan dengan pihak Dinas terkait
      Sebuah kemitraan terbentuk manakala muncul rasa keingman yang kuat ketika membutuhkan pihak laia yang lebih berkompeten dan konsepnya ditemukan dalam bekerjasama, pendidikan di pesantren untuk biding agribisnis dan bengkel motor dan las teralis melakukan mitra dan kerjasama, dengan terutama dinas terkait antara lain: Dinas Perindakop yang selain mengucurkan dana bantuan modal juga melakukan pembinaan dan diklat bagi santri termasuk Dinas Ketahanan Pangan, Dinas Perkebunan, Dinas Perikanan, Balai Pelalihan Pertanian Departemen Pertanian, juga Departemen Agama.
Dengan demikian keyakinan untuk sukses dalam melaksanakan pendidikan agribisnis di pondok pesantren tidaklah diragukan dikarenakan ditangani oleh orang orang yang memang ahli di bidang pertanian, di mana pondok pesantren memiliki petugas teknis lapangan yang memang handal di bidangnya.
Wajarlah sebagai conloh Pondok Pesantren Darul Aufa berdasarkan surat Gubernur Jambi nomor 521/283/iEkbang/tanggal 14 Juli tahun 2008 perihal penghargaan pengembangan ketahanan pangan dalam rangka HKP {Hari Krida Pertanian) ke 36 tahun 2008 terpilih dan mendapat Juara 1 (satu) Pemenang Lomba Pengembangan Kelahanan Pangan Tingkat Provinsi Jambi. Disamping itu telah diterima pula oleh Pondok Pesantren Darul Aufa predikat manajemen Orsos (Organisasi Sosial) yang badan Orsosnya adalah Yayasan Pendidkan Zulyaden terbaik dalam Provinsi Jambi Tahun 2007.
Ada kebanggaan dan perasaaan keagamaan yang menyentuh nurani tersendiri manakala kita memilki putra-putri kita untuk mengikuti pendidikan dari pesantren, seperti adanya manisfestasi pola ibadah yang tertib dengan keutamaan sholat jamaah, amalan wirid, puasa sunnah, sholat tahajjut, kebiasaan pengamalan sholat sholat sunnah seperti dhuha, hajat, witir, rawatif dan lain lain. Belum lagi sistem penerapan disiplin yang nyaris tak teraisa sedikitpun waktu santri untuk berhura hura karena gemblengan pesantren 24 jam dengan sederetan aturan yang harus dipatuhi santri, pelanggaraan berarti adalah sanksi.
Nah ketika kita mendapatkan banyak hal dan pendidikandi pondok pesantren mengapa pula kita justru meragukan potensi dan keberadaan lembaga pendidikan pondok pesantren ini? Dengan pendidikan di pondok pesantren, berarti dua dimensi kita dapatkan manfaat keilmuan, yakni dunia dan akherat.
Kurang apa lagi? Yok, belajar hidup dari kehidupan di pesanfren.***

Pebdidikan Moral Santri

Kabar yang menyedihkan pernah “menyapa” sebuah departemen yang seharusnya bisa memberi contoh kepada departemen lain, departemen yang sebagian anggotanya pernah menjadi santri, ironis memang. Para santri  hampir setiap hari mendapatkan pelajaran moral yang didapat dari quran, hadits, mahfuzhat, ceramah, doktrin dsb. Sepantasnya “gemblengan”ini menjadikan santri “lebih soleh” dibandingkan mereka yang “bukan santri” yang tidak mengenyam pesan agama sesering para santri.
sudah saatnya bagi pemerhati pendidikan Islam untuk mulai mengevaluasi metodologi pembelajaran di pesantren, khususnya pembelajaran moral. Metodologi pembelajaran moral  saat ini apakah bisa mengajak para santri untuk merasakan dan mengerti kandungan sebenarnya dari pesan moral yang disampaikan. Pesan moral yang diajarkan islam itu  sempurna, tetapi bila cara penyampaiannya tidak tepat, maka tidak akan menjadi pengekang bilamana seseorang lupa.
Berdasar pada pengalaman pribadi, kebanyakan guru pesantren mengajarkan akhlak dengan menitik beratkan hafalan dan pemahaman arti harfiah. dulu waktu nyantri, kitab akhlakul banin, yaitu kitab yang menjadi pedoman dasar pengembangan akhlak pemula di pesantren salaf , diajarkan dengan metode sorogan dimana guru membaca dan mengartikan kata perkata. Ketika selesai menerangkan, semuanya mendapatkan giliran membaca kembali apa yang sudah diartikan, sayangnya mereka jarang ditanya sejauh mana mereka memahami pesan itu, malahan yang hafal di luar kepala bisa pulang duluan. Ustadz saya selalu menerangkan “kalian kalau melakukan ini  akan disiksa di neraka, dibenci tuhan, tidak akan masuk surga dll”. Alasan agama selalu menjadi motif utama apakah suatu perbuatan dilakukan atau tidak. padahal masih banyak alasan yang bisa  dijelaskan secara logika, tapi sayang logika jarang dipakai. contohnya ketika santri ditanya  tentang alasan menjaga kebersihan, jawaban pertama yang muncul adalah kebersihan itu  sebagian dari iman, tetapi apakah mereka benar-benar mengerti alasan ” kenapa kebersihan itu menjadi bagian dari iman?”, sepertinya tidak semua santri bisa menjawabnya. bila suatu pesan moral diajarkan hanya dari segi agama dikhawatirkan keimanan seseorang berkurang sehingga dia akan kehilangan alat pengekangnya. peran pemakaian logika dalam penyampaian pesan agama sangat penting sekali karena penggunaan logika akan mengarah kepada pemahaman yang hakiki tentang suatu pesan. c
seorang pengajar materi moral harus membekali dirinya dengan kemampuan menganalisa suatu masalah dari berbagai sudut pandang, bukan hanya dari dalil agama. sebagai contoh  bila hendak melarang santri untuk meludah di sembarang tempat, dia harus bisa menganalisanya dari sudut kesehatan atau dampaknya pada lingkungan.
Berguru pada orang jepang, seperti yang saya alami hablun minan naas mereka atau hubungan antar sesama manusianya boleh dikatakan lebih baik dari orang indonesia, padahal orang jepang menganggap agama itu bukan hal yang penting, terbukti dari banyaknya masyarakat jepang yang beragama lebih dari satu atau percaya pada semua tuhan. Hal ini  menjadi pertanyaan yang besar buat kita orang indonesia yang menjadikan agama sebagai “way of life”, kenapa hal ini bisa terjadi. sepertinya perlu tafakkur yang lebih mendalam lagi tentang metodologi pembelajaran moral yang pernah dialami.
Ada beberapa masalah  mendasar yang harus dievaluasi lagi tentang cara  penyampaian  materi  moral di dunia  pesantren, diantaranya:
  1. kurangnya pemakaian logika dalam penyampaian materi moral. Para guru hanya memakai dalil-dalil agama. contohnya alasan  larangan ghibah sering hanya ditekankan dari dalil quran atau hadis. padahal ghibah bisa dijelaskan dari beberapa aspek, baik sosial, kemanusiaan ataupun keamanan. pemakaian logika masih jarang dilakukan sehingga kurang membentuk pemahaman yang hakiki di jiwa santri.
  2. banyaknya materi moral yang diterima santri dan  disampaikan tanpa penjelasan yang jelas tentang intisarinya.
  3. cara evaluasi yang kurang tepat.  kebanyakan evaluasi dilakukan dengan keharusan menghapal pesan moral tersebut, seperti dalam pelajaran mahfuzot. juga evaluasi hanya dilakukan dengan mengukur kemampuan santri dalam membaca dan mengartikan kalimat dalam bahasa arab, seperti  kitab akhlakul banin.
  4. cara penyampaian yang lebih  cenderung berbentuk satu arah, santri hanya menjadi pendengar  “setia”.
pemakaian audio visual dalam penyampaian materi moral sangat membantu memahamkan pesan kepada santri, seperti pemutaran film hidayah. bahkan efeknya bisa  lebih besar dari ceramah biasa. pemutaran film ini bisa dikatakan praktikum dari teori yang telah disampaikan, teori yang dibarengi dengan praktik akan lebih mudah dipahami dan lebih berbekas.
Materi moral harus dipahami, dihayati dan dirasakan oleh santri. materi itu harus masuk kedalam hati para santri dan betul-betul dimengerti.  Pesan moral harus dijelaskan bukan hanya dari segi agama, tapi juga dari sisi kemanusiaan tanpa memandang agama, runtutan akibatnya, penjelasan ilmiahnya dll.
Semua santri harus bisa menjelaskan secara logika alasan dan inti sebenarnya dari suatu pesan moral. Bukan hanya dengan menghapalnya di luar kepala dan bukan pula hanya karena takut neraka atau ingin masuk surga.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar